PEKAN lalu publik dihebohkan peristiwa wafatnya wakil bupati (Wabup) Sangihe. Kehebohan terjadi karena sebelumnya Wabup tersebut sempat mengirimkan surat penolakan izin pertambangan emas di Sangihe kepada Kementerian ESDM. Publik merespons di media sosial bahwa kematian sang Wabup merupakan peristiwa ganjil. Banyak yang berspekulasi bahwa peristiwa kematian ini merupakan tragedi Munir jilid II.
Kepolisian telah melakukan otopsi. Hasilnya, tidak ditemukan racun di dalam tubuh jenazah. Kematian itu terjadi akibat penyakit komplikasi. Namun, respons netizen-netizen di media sosial banyak yang meragukan hasil tersebut. Hasil otopsi dianggap sebagai rekayasa untuk menutupi kedok misteri kematian Wabup yang dianggap memiliki korelasi dengan penolakan izin pertambangan di Sangihe.
Peristiwa di atas dapat dipahami bahwa telah terjadi public distrust terhadap institusi penegak hukum. Apabila melihat survei yang dirilis Indikator tentang kepuasan kinerja institusi negara, institusi penegak hukum ternyata memiliki nilai yang minim. KPK menduduki peringkat ketiga dengan nilai 74 persen, Polri menduduki peringkat keempat dengan nilai 71 persen, kemudian disusul kejaksaan yang menduduki peringkat kelima dengan nilai 66 persen.
Fenomena public distrust kepada penegak hukum jelas bukan terjadi kali ini saja. Contohnya, kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang penanganannya dianggap kurang serius. Kemudian, tragedi penembakan anggota FPI. Perkara ini sampai diperiksa Komnas HAM dan menghasilkan kesimpulan unlawfull killing yang membuat dua oknum polisi menjadi tersangka. Namun, penindakannya juga dianggap kurang serius karena keterbukaan dan transparansi perkara sangat minim.
Belum lagi apabila membahas kontroversi alih pegawai KPK menjadi ASN. Ataupun kasus korupsi raksasa lain seperti Jiwasraya, ASABRI, bansos, dan benur yang saat ini belum mendapatkan titik temu. Krisis kepercayaan akhirnya menimpa penegak hukum dan bahkan muncul isu diskriminasi penegakan hukum seperti tajam ke atas tumpul ke bawah, atau mungkin tajam ke koalisi tumpul ke oposisi.
Reformasi Institusi
Krisis kepercayaan kepada penegak hukum mengakibatkan perlu segera ada reformasi institusi. Apabila dibiarkan, atau setidaknya ketidakseriusan masih menjadi budaya penegak hukum, hukum tak dapat lagi digunakan masyarakat sebagai instrumen interaksi sosial. Sedikit demi sedikit masyarakat akan abai terhadap aturan yang dibuat. Sebagaimana kata Von Feuerbach berdasar ajaran psikologinya, ”agar rakyat menurut hukum, setiap pelanggar harus sungguh-sungguh ditindak”. Ini mengajarkan bahwa cerminan kepatuhan hukum dari masyarakat bergantung kinerja penegak hukum di lapangan.
Van Bemmelen mengatakan bahwa penegak hukum adalah roh dari kewibawaan negara. Artinya, kualitas kewibawaan negara ditentukan kualitas penegakan hukumnya. Apabila rakyat tidak percaya kepada penegak hukum, kewibawaan negara bisa terkupas. Ketidakpercayaan yang sudah tertanam di benak rakyat mengakibatkan munculnya sikap tak acuh terhadap perintah dari negara.
Tak acuhnya rakyat terhadap hukum menjadi dilematis bagi penegak hukum. Di satu sisi, penegak hukum memiliki peran untuk menegakkan UU. Namun, di sisi lain, penegakan hukum menjadi canggung karena harus berhadapan dengan rakyat yang sudah tidak peduli dengan hukum.
Fenomena ini sesuai dengan pandangan J.J. Von Schmid mengenai dinamika kesadaran hukum masyarakat di era modern. Kesadaran hukum bukan hanya soal budaya kepatuhan hukum. Saat ini masyarakat sudah cerdas menilai hukum, baik itu norma hukum maupun penegak hukum yang menjadi kesatuan. Apabila terjadi krisis kepercayaan, sulit menyalahkan masyarakat karena citra penegak hukum telah dinilai dengan buruk.