Dilema Siap Sekolah

ADVERTISEMENT

Kolom

Dilema Siap Sekolah

Akhmad Mukhlis - detikNews
Kamis, 02 Feb 2023 11:15 WIB
Dilema Siap Sekolah
Akhmad Mukhlis (Ilustrasi: dok. pribadi)
Jakarta -

Suatu malam di akhir tahun 2022, sepasang teman mencurahkan keresahannya. Beberapa hari sang istri mengaku tidak nyenyak tidur, suami yang bekerja di luar kota mulai kehilangan konsentrasi. Pasalnya, beberapa waktu sebelumnya, anak semata wayang mereka disarankan oleh pihak sekolah untuk menambah masa taman kanak-kanak (TK) setahun lagi. Bukan tanpa alasan, pihak sekolah memberikan saran setelah mendapatkan hasil tes psikologi dari lembaga yang telah lama bekerja sama dengan mereka.

Saya cukup kaget saat pasangan teman saya mengatakan bahwa alasan sekolah adalah bahwa tim psikologi memberikan catatan khusus pada anak mereka. Saat sesi tes, anak tersebut dianggap tidak mampu mengikuti instruksi sederhana, acuh dan malah bermain. Itu adalah alasan utama yang kemudian menyebabkan hasil tes anak tersebut dianggap tidak baik dan dinyatakan tidak siap sekolah.

Setelah saya menanyakan tes apa sajakah yang diberikan, mereka tidak begitu memahami, namun sepertinya adalah tes IQ. Bagi kedua teman saya tersebut, hal tersebut bukan hanya masalah penundaan sekolah. Melihat anaknya yang 'baik-baik saja', mereka merasa saran tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Lebih dari itu, mereka merasa 'gagal' menjadi orang tua.

Komunikasi antara pihak sekolah dan orang tua seringkali menjadi problematik saat menyangkut permasalahan-permasalahan krusial. Cerita pada awal kalimat memberikan sedikit gambaran. Apakah anak-anak siap untuk sekolah formal (SD)? Siapakah yang paling berhak menentukan hal tersebut? Persoalan utamanya adalah kecenderungan pihak sekolah atau orangtua yang menganggap proses pengambilan keputusan tersebut hanya urusan mereka masing-masing. Sebagaimana sekolah, orangtua menganggap dirinya lebih mengetahui kondisi anak. Meskipun hanya berupa saran, pihak orangtua merasa mereka tidak dilibatkan dalam prosesnya.

Kesiapan Sekolah


Selain akademisi, kesiapan sekolah (school readiness) merupakan topik pembicaraan banyak orangtua, terutama menjelang berakhirnya masa taman kanak-kanak. Kesiapan sekolah pada umumnya dilihat sebagai ukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang memungkinkan anak berpartisipasi dan berhasil di sekolah.

Terkadang banyak pihak beranggapan bahwa kesiapan sekolah berarti mampu membaca, menulis, dan mengerjakan matematika dasar (calistung) sebelum mulai sekolah. Sehingga banyak sekolah dasar yang menggunakan hal tersebut sebagai kemampuan dasar dalam proses seleksi. Pun begitu sebaliknya, banyak orangtua memberikan jam ekstra kepada anak-anak mereka untuk menguasai keterampilan calistung demi lolos seleksi sekolah yang dianggap 'favorit'. Seperti para pendahulunya, Mendikbud Nadiem Makarim sampai mengingatkan hal ini berkali-kali di ruang publik.

Sayangnya, ilmuwan tidak menyebut kesiapan sekolah sesempit itu. Dalam pandangan maturisionis, kesiapan sekolah adalah tentang perkembangan menyeluruh, mulai perkembangan keterampilan sosial dan emosional mereka, keterampilan fisik motorik, keterampilan komunikasi, dan keterampilan kognitif. Anak-anak tidak dapat berkembang di sekolah jika mereka belum mengembangkan keterampilan untuk mengatur hal-hal seperti bergaul dengan anak lain, mengikuti instruksi, dan mengomunikasikan kebutuhan mereka.

Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang memulai sekolah ketika perkembangannya sudah siap untuk belajar cenderung berprestasi lebih baik di sekolah. Selain itu anak-anak yang telah siap saat memulai sekolah dianggap akan lebih sukses di kemudian hari. Jika kita mengambi perspektif ekologis, kesiapan sekolah bukan hanya dilihat dari perspektif kesiapan anak, melainkan juga kesiapan lingkungan untuk menerima anak. Kesiapan sekolah adalah interaksi antara anak dengan lingkungannya. Kondisi keluarga, masyarakat, harapan masyarakat dan kebijakan seputar pendidikan dianggap memberikan pengaruh sama pentingnya tentang tema kesiapan sekolah.

Secara umum, kesiapan sekolah dicapai ketika anak-anak memiliki orang dewasa yang stabil yang secara emosional, dan ketika mereka memiliki akses ke materi yang memungkinkan mereka menjelajahi dunia dan dapat memperoleh rasa nikmat dari eksplorasi semacam itu. Menengok dua pandangan tersebut, kita akan mendapatkan pandangan kesiapan sekolah yang sistemik dan interaksional. Kita diajak untuk mengalihkan fokus dari yang berpusat pada anak, menjadi fokus yang berpusat pada interkoneksi dan hubungan antara anak, keluarga dan sekolah.

Kesiapan sekolah meliputi kesiapan individu anak, kesiapan sekolah bagi anak, serta kemampuan keluarga dan masyarakat untuk mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. Ini adalah konsep yang holistik, bukan hanya melulu tentang kompetensi individual anak, apalagi hanya ditentukan oleh satu dua asesmen psikologis.

Miskonsepsi


Setidaknya kita sekarang tahu bahwa kesiapan sekolah anak bukanlah hasil yang bisa kita dapatkan hanya dengan melakukan pengukuran (tes) kepada anak, melainkan juga interkoneksinya dengan rumah dan sekolah. Barbara Willer dan Sue Bredekamp pernah menulis dalam Jurnal Young Children bahwa minimal terdapat enam miskonsepsi mendasar yang sering terjadi terkait kesiapan sekolah. Bahwa pembelajaran dianggap hanya terjadi di sekolah adalah yang pertama.

Melihat konsep yang lebih komprehensif, pembelajaran itu terjadi setiap saat, di mana pun. Itulah mengapa sekolah jangan dianggap sebagai satu-satunya pintu terjadinya pembelajaran. Artinya, keluarga dan lingkungan juga menjadi subjek penting yang harusnya juga berperan dalam pembelajaran.

Kedua, kesiapan sekolah dianggap sebagai kondisi khusus dalam diri setiap anak. Padahal menyambung konsep yang telah dijelaskan sebelumnya, kesiapan adalah interkoneksi. Ketiga, kesiapan sekolah dapat diukur dengan mudah. Tes kesiapan sekolah harusnya tidak hanya dilaksanakan sekali dan hanya satu bidang. Tes IQ tentu yang paling popular digunakan. Harusnya, tes kesiapan juga mengacu pada tes domain perkembangan lain seperti sosial dan emosional.

Kesalahan konsep keempat, kesiapan sebagian besar merupakan fungsi waktu (kematangan), dan setiap anak berbeda. Ini berkaitan dengan sifat dasar manusia mengembangkan kepribadiannya. Sebagian besar anak mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi baru, namun sebagian lainnya tidak mudah. Mereka membutuhkan waktu dan dukungan positif, mereka bukan tidak siap, melainkan belum siap.

Kelima, banyak yang beranggapan bahwa anak telah siap belajar ketika mereka bisa duduk diam di meja dan mendengarkan. Kita harus memahami, gaya anak menyerap pengetahuan berbeda. Selain itu, atensi anak dapat dipengaruhi oleh banyak hal lainnya. Bisa jadi anak terlihat acuh dan mengarahkan perhatiannya pada hal lainnya saat sesi tes, karena memang mereka tidak menaruh minat, bukan karena mereka tidak mampu; dan yang terakhir seperti yang terjadi di awal tulisan. Sekali tes, anak tidak minat dan mendapatkan nilai buruk, maka anak tersebut dianggap belum siap dan 'disarankan' untuk tidak masuk sekolah dasar.

Pendekatan Komprehensif

Seperti kita, anak adalah manusia, bukan benda fisik yang dengan mudah diukur. Dia berkembang bersama lingkungan tempat dia tinggal. Lingkungan bertanggung jawab pada kebutuhan dasar seperti nutrisi, pengasuhan, perlindungan, penyembuhan jika terluka, dan juga kesempatan mengendalikan minatnya. Pemenuhan kebutuhan tersebut membangun resiliensi dan membutuhkan pendekatan komprehensif kolaboratif agar anak menjadi prioritas di tingkat keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Meskipun tema kesiapan sekolah telah popular sejak lama, nyatanya kejadian seperti cerita di awal tulisan masih saja terjadi. Anak dan kemampuannya yang terbatas dijadikan satu-satunya tolok ukur apakah mereka siapa atau tidak masuk dalam jenjang sekolah formal. Data ilmiah menunjukkan bahwa kesiapan sekolah adalah produk dari serangkaian koneksi antara anak, sekolah, rumah dan lingkungan sosialnya. Oleh karenanya, penilaian kesiapan harusnya dilakukan bertahap dari waktu ke waktu dan dalam konteks bukan hanya melalui tes skrining sekali jadi.

Di tengah obrolan, tiba-tiba anak yang dianggap tidak siap sekolah menghampiri kami dan menyampaikan sesuatu bahwa dia baru saja selesai pup. Rumah saya adalah lingkungan baru. Menuju ke toilet dengan bertanya ke anak saya (yang tidak dikenalnya) adalah bukan tugas mudah bagi banyak anak, apalagi malam hari. Belum lagi dia mampu menyelesaikan dengan baik dan bersih tanpa mengganggu kedua orang tua yang tengah mengkhawatirkannya. Bagi saya, kejadian kecil ini saja cukup untuk menjelaskan miskonsepsi dan bunga kekhawatirannya.

Akhmad Mukhlis dosen psikologi FITK UIN Malang, founder Komunitas Dulinan Malang

dosen psikologi FITK UIN Malang, founder Komunitas Dulinan Malang

Baca artikel detiknews, "Tertipu Sekaligus Menipu Diri Sendiri" selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-6009347/tertipu-sekaligus-menipu-diri-sendiri.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/
dosen psikologi FITK UIN Malang, founder Komunitas Dulinan Malang

Baca artikel detiknews, "Tertipu Sekaligus Menipu Diri Sendiri" selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-6009347/tertipu-sekaligus-menipu-diri-sendiri.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/
dosen psikologi FITK UIN Malang, founder Komunitas Dulinan Malang

Baca artikel detiknews, "Tertipu Sekaligus Menipu Diri Sendiri" selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-6009347/tertipu-sekaligus-menipu-diri-sendiri.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT