Lepas dari Mitos Gaya Belajar

Kolom

Lepas dari Mitos Gaya Belajar

Akhmad Mu - detikNews
Rabu, 08 Mei 2024 14:00 WIB
Mitos Gaya Belajar
Akhmad Mu (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -
Anakku itu nggak bisa diem, lari-lari, pokoknya suka geraklah. Gurunya juga tahu itu, dia anak kinestetis. Aku bersyukur karena gurunya memfasilitasinya dengan baik. Namun, masalahnya bagaimana kalau dia masuk SD? Apakah dia masih dapat layanan yang sama? Apakah dia akan kesulitan?

Gaya belajar, mungkin akan menjadi salah satu mitos sekaligus legenda terbesar dalam dunia pendidikan. Jika Anda adalah praktisi pendidikan atau orangtua yang memiliki anak sekolah, istilah gaya belajar mungkin sudah familier. Bahwa pembelajaran akan optimal jika pendidik berhasil mengidentifikasi gaya belajar peserta didiknya dan sekaligus mendukungnya. Ilustrasi di awal tulisan sedikit banyak menggambarkan kepercayaan tersebut.

Pada dasarnya, konsep gaya belajar masuk akal. Individu itu unik dan mereka belajar secara berbeda. Oleh karenanya, lembaga pendidikan harusnya menjangkau keunikan tersebut dengan cara yang dipersonalisasi. Di lain pihak, guru juga ingin mengenali "keunikan" setiap peserta didiknya dan membantu mereka dengan cara yang terbaik. Itulah mengapa konsep gaya belajar menjadi sangat popular. Sayangnya, belajar tidaklah sesederhana itu.

Prinsip Individu Unik

Gagasan gaya belajar mengacu pada kepercayaan bahwa individu memiliki gaya yang berbeda saat mengambil, mengatur, memproses, dan mengingat informasi sesuai dengan preferensi mereka masing-masing. Berbekal prinsip bahwa setiap individu adalah unik --memiliki minat dan bakat berbeda-- pada 1975 seorang ahli biokimia dan juga pakar lingkungan Frederic Vester menyampaikan gagasan tentang tipe pembelajar dalam bukunya yang berjudul Thinking, Learning, Forgetting.

Vester mengemukakan empat tipe pembelajar yang memperoleh pengetahuan secara berbeda, yaitu pembelajar auditori, visual, haptik, dan kinestetik. Konsep utama gagasan gaya belajar adalah modalitas belajar. Asumsinya, individu dianggap akan lebih efektif menerima materi pembelajaran jika stimulasi atau saluran yang mereka peroleh sesuai dengan gaya belajarnya. Jadi, anak yang disebut pembelajar auditori akan belajar dengan mendengarkan dan berbicara, sehingga penjelasan lisan adalah cara terbaik untuk mereka. Sebaliknya, gaya pembelajar visual belajar melalui observasi dan memanfaatkan grafik, diagram, dan gambar yang menyajikan informasi.

Pembelajar visual juga lebih suka membaca teks daripada mendengarkan konten. Selanjutnya, gaya belajar haptik adalah mereka yang disebut akan mendapatkan hasil belajar lebih baik dengan sentuhan, perasaan serta pengalaman praktik langsung. Sedangkan pembelajar kinestetik disebut akan belajar lebih baik jika diberikan saluran untuk memanipulasi sesuatu secara fisik.

Selepas publikasi Vester, para peneliti terus mencoba selama bertahun-tahun untuk menemukan korelasi antara individu dan cara membantu pembelajaran. Bahkan, pada 2014 Frank Coffield bersama tiga rekannya telah mengidentifikasi 71 model gaya belajar yang berbeda. Mulai dari yang paling masyhur seperti model VARK (visual, auditory, reading/writing, kinesthetic) milik Neil Fleming, model kecerdasan ganda yang terinspirasi dari teori Howard Gardner, The Kolb Learning Style Inventory (LSI), The Myers-Briggs Type Indicator (MBTI), sampai teori lain mengusulkan rincian seperti waktu dan suhu ruangan yang menentukan gaya belajar.

Bayangkan, jika Anda adalah praktisi pendidikan atau orangtua yang menginginkan anak-anaknya belajar dengan baik, dari 71 teori, manakah yang akan Anda gunakan untuk menyiapkan modalitas dan saluran belajar anak-anak? Dengan dasar keyakinan apakah Anda percaya bahwa modalitas tersebut benar-benar yang dibutuhkan anak-anak anda? Itulah yang terjadi dalam perdebatan ilmiah, banyaknya model dan teori terkait gaya belajar memunculkan kesulitan secara ilmiah untuk mengukur dan memahami gaya individu.

Belum Menemukan Bukti

Sekali lagi, bagi kita gagasan bahwa setiap individu adalah unik –makanya individu yang berbeda memiliki gaya belajar berbeda adalah hal yang menarik. Tapi secara ilmiah, betapapun kerasnya para ilmuwan mencari, mereka belum mampu menemukan bukti kuat mengenai teori gaya belajar dapat menghasilkan pembelajaran yang lebih baik, hasil belajar yang lebih baik, atau keberhasilan siswa.

Masalah pertama, dasar gagasan gaya belajar merupakan hasil dari penilaian diri yang tidak lain adalah preferensi individu pelajar. Gampangnya, ketika diberi pertanyaan "tipe pembelajar seperti apakah Anda?" sebagian besar akan menjawab dengan jelas, ada yang suka belajar dengan materi visual, gerakan, dan ada juga yang menyukai belajar dengan mendengarkan. Jawaban-jawaban tersebut lebih banyak bersifat subjektif. Karena selain isi pembelajaran, biasanya jawaban tersebut muncul karena tipe kepribadian serta penilaian dan perasaan pada saat ditanya.

Selain itu, seringkali hal tersebut berkaitan dengan tingkat kompetensi. Bayangkan pada sebuah kelas, seorang guru berkata, "Pagi ini saya ingin menyampaikan sesuatu, apakah kalian lebih memilih saya menyampaikan dengan gaya pidato, rekaman audio, presentasi dengan tampilan visual atau praktek langsung?" Jika mereka bertanya lebih dahulu tentang materi apa yang akan dipelajari, maka asumsi yang menyatakan bahwa setiap individu memiliki saluran belajar paling efektif, terlepas dari konten apa yang mereka pelajari.

Hal kedua, belajar berbeda dengan proses kognitif sederhana. Konsep gaya belajar mengasumsikan bahwa belajar identik dengan penerimaan informasi melalui alat indera. Padahal, temuan dalam psikologi kognitif menyatakan bahwa sebagian besar isi memori disimpan sepenuhnya secara independen dari modalitas sensorik apapun.

Masalah ketiga terletak pada persamaan istilah belajar dan mengingat sesuatu (memori). Informasi—gambar, rangkaian huruf, rangkaian suara, atau sensasi sensorik—dapat direkam dan disimpan dalam memori baik secara visual, auditori, kinestetis atau haptis. Namun bahkan jika individu mempunyai saluran favorit dan dianggap unggul dari yang lain (misal kinestetis) sekalipun tidak akan menjelaskan cara terbaik mereka belajar. Hal tersebut karena pembelajaran lebih dari sekadar mengingat atau menghafal, ia melibatkan pemahaman, menangkap makna, dan memecahkan masalah.

Rapuh dan Bermasalah


Secara ilmiah, gaya belajar sangat rapuh. Bukan hanya karena efektivitasnya dipertanyakan, namun penerapannya saat mengkategorikan siswa berdasarkan preferensi sensorik tertentu akan cukup bermasalah. Pertama, individu pelajar akan menanamkan nilai dan kepercayaan yang salah pada diri mereka sendiri, akibatnya perilaku belajarnya membatasi mereka dalam belajar.

Kedua, pelajar mungkin akan kehilangan motivasi belajar. Semisal, ada seorang pelajar yang telah dikategorikan sebagai pembelajar auditori, mungkin akan menyimpulkan bahwa mempelajari mata pelajaran kinestetis, seperti olahraga tidak berguna baginya. Ketiga, pendidik membutuhkan banyak waktu untuk mengidentifikasi gaya dan merancang instruksi yang sesuai dengan gaya pembelajaran.

Keempat, paradoks tentang tugas utama pendidik. Jika salah satu tugas pendidik adalah mengajarkan berpikir kritis, namun tidak menerapkan pemikiran tersebut dalam pengajarannya sendiri. Keyakinan terhadap gaya belajar dalam hal ini melemahkan kredibilitas pendidik dan menciptakan harapan pendidikan yang tidak realistis dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Daripada mencoba mencocokkan metode pengajaran dengan gaya belajar seseorang, akan lebih efektif untuk mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi pembelajaran, seperti kompleksitas materi yang dipelajari, variasi penyampaiannya, pengetahuan awal individu, serta motivasi dan keterlibatan mereka. Kita tahu bahwa mengajar lebih dekat dengan seni dibandingkan sains, sehingga tingkat fleksibilitas dan kecerdikan tertentu selalu bermanfaat untuk meningkatkan motivasi pelajar dan melibatkannya dengan sebaik-baiknya.

Akhmad Mu dosen psikologi FITK UIN Malang, anggota dewan pakar PPIAUD Indonesia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(mmu/mmu)