Kolom

FaceApp dan Ilusi Wajah Tua

Akhmad Mu - detikNews
Minggu, 21 Jul 2019 11:50 WIB
Jakarta -

Males buka medsos, sekarang medsos sudah kayak panti jompo.

Sebagian dari Anda mungkin telah bermain atau masih menikmati hasil permainan dari sebuah aplikasi artificial intelligent (AI/kecerdasan buatan) yang --disadari atau tidak-- mengambil foto dari data ponsel untuk diubah menjadi lebih tua. Aplikasi besutan Rusia yang diluncurkan dua tahun lalu itu menjadi trending hari-hari ini. Mulai dari orang biasa kebanyakan hingga artis dan tokoh publik terkenal ramai menyebarkan hasil olahan FaceApp.

Kontroversi

Setahun lalu, FaceApp telah berada pada kontroversi ketika teknologi AI miliknya mampu memecahkan algoritma wajah laki-laki dan perempuan serta wajah antar-etnis. Selain dianggap memberikan jalan bagi transgender, FaceApp juga dianggap telah melanggar bata etis tentang ras. Sampai akhirnya pada Agustus 2017 filter etnis dihapus dari fitur FaceApp.

Hari ini sebagian pengamat mengkhawatirkan pencurian data privasi pengguna, bahkan menghubungkannnya dengan Kremlin. Saya tidak menampik kemungkinan tersebut, namun saya tidak hendak menulis tentang itu. Terlampau jauh untuk berbicara data remah-remah dari kebanyakan kita untuk dihubungkan dengan persaingan global antara Amerika dan Rusia, atau bahkan China.

Seperti aplikasi prediktif atau avatar sebelumnya, menggunakan FaceApp mungkin tampak seperti hiburan yang menyenangkan. Melihat wajah menua, semakin muda, atau bahkan membayangkan kita dalam peran gender lain mungkin juga salah satu hiburan bagi sebagian besar pengguna medsos hari ini. Namun pertanyaannya, benarkah kita sedang membayangkan dan bermain peran dalam usia tua, muda, atau jenis gender lain?

Menyukai Prediksi

Manusia menyukai prediksi, terlebih terkait hal-hal yang berhubungan dengan dirinya. Apa yang terjadi jika saya berusia senja? Bagaimana pula rupa saya jika saya laki-laki/perempuan? Apa kemungkinan-kemungkinan yang belum saya miliki untuk menjadi tua, muda, atau jenis kelamin lain? Apa yang akan saya dapatkan lima tahun lagi? Profesi apa yang sebetulnya cocok untuk saya? Kesemuanya adalah pertanyaan prediktif yang berhubungan dengan diri.

"There is definitely a positive desire to imagine expansion of the self," ujar psikolog klinis dan peneliti teknologi Washington University, Margaret E Morris ketika menjelaskan mengapa manusia menyukai prediksi. Rasa penasaran tersebut menjadi komoditas bagi pengembang aplikasi-aplikasi seperti FaceApp dan banyak aplikasi lainnya.

Lebih jauh, William Chopik, profesor psikologi di Michigan State University justru menyentil pengguna FaceApp sebagai tindakan demonstrasi tanpa persiapan. Membandingkan wajah hari ini dengan prediksi ketika tua menurutnya adalah salah satu bentuk penekanan dan kebanggaan pada masa sekarang dan saat ini. Ini adalah salah satu jenis perilaku narsistik.

Meskipun begitu, Chopik tidak menampik bahwa bisa jadi FaceApp juga memiliki efek positif. Salah satunya menormalkan fakta tentang usia senja dan berkurangnya stigma terkait para manula. Tapi saya kok melihatnya berbeda. Bukannya memaklumi manula, sebagian orang melihat demonstrasi "wajah tua" sebagai hal yang tidak enak dilihat, bahkan sampai menggunakan kata sarkasme macam "panti jompo" --seperti saya kutip dari ucapan teman saya di atas.

Ilusi

Perspektif menarik bisa kita eksplorasi dari teori Dunning-Kruger Effect milik psikolog David Dunning. Profesor University of Michigan tersebut menyebut bahwa manusia cenderung melebih-lebihkan kemampuan mereka pada hal-hal yang justru tidak mereka kuasai. Mengapa demikian? Dunning menyebut otak manusia menyembunyikan titik buta (blind spot). Sebagai contohnya kita sering merasa lebih percaya diri tentang keterampilan atau topik daripada yang seharusnya. Tetapi pada saat yang sama, kita juga tidak menyadari bahwa kita terlalu percaya diri. Orang Amerika hari ini melihat betapa teori ini terbukti pada perilaku Presiden Donald Trump.

Beberapa statement ancaman Donald Trump yang intimidatif dan responsif terlihat keluar begitu saja pada berbagai masalah. Salah satunya saat kampanye tentang tembok pembatas Meksiko serta ujaran terkait minoritas. Padahal beberapa pengamat setuju bahwa minat dan pemahaman presiden terhadap masalah tersebut sangat lemah. Apakah Trump goyang dengan beberapa kebijakan tersebut? Tentu saja tidak.

Teori Efek Dunning-Kruger secara langsung menyentil kita dengan pertanyaan, benarkah kita menyadari bahwa kita akan menua? Ataukah jangan-jangan justru FaceApp memberikan fasilitas bagi titik buta otak kita, bahwa kita terlalu percaya diri akan penuaan. Sesungguhnya kita tidak mengetahui bahwa diri kita akan menua, tetapi malah justru memuja betapa gagah atau cantiknya usia kita hari ini. Atau minimal diam-diam memuja bahwa kita toh tetap gagah dan cantik saat tua. Padahal itu semua sebenarnya hanya permainan algoritma.

Saya sendiri melihat pertunjukan hasil FaceApp hanya ilusi yang tidak jauh berbeda dengan ilusi jaminan kesejahteraan masa tua atau dana pensiun. Banyak anak muda rela mengadu nasib untuk mendapatkan kesempatan menjalani profesi yang menjamin masa pensiun, seperti menjadi PNS, atau pegawai tetap perusahaan. Alasannya sederhana, mendapat jaminan berupa gaji pensiun. Padahal jaminan tersebut hanyalah ilusi saat kita benar-benar menua. Sejumlah uang yang kita dapatkan tanpa bekerja memang menggiurkan bagi fantasi anak muda dengan tubuh mudanya. Jalan-jalan, makan, pakaian dan perhiasan akan kita dapatkan tanpa bekerja lagi. Namun apakah pernah kita membayangkan tubuh tua kita nanti mampu menikmati semua itu? Sama halnya dengan pensiun, apakah menjadi tua hanya urusan keriputnya wajah?

(mmu/mmu)