Oleh Benny Afwadzi*
Dalam tulisan ini sengaja saya memberikan spesifikasi pembahasan pada dilematika pendidikan yang ada di perguruan tinggi. Hal ini diambil dengan beberapa pertimbangan. Pertama, pendidikan di perguruan tinggi layaknya finishing touch atau penyelesaian akhir dalam dunia sepak bola, dimana langkah ini menjadi penentu hasil akhir strategi yang dibangun. Sehingga dari sinilah dirasa akan muncul produk final pendidikan kita. Kedua, minimnya pengawasan orangtua terhadap anak-anaknya yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Kenyataan ini menimbulkan stigma kebebasan yang sebebas-bebasnya bagi mahasiswa. Ketiga, mahasiswa adalah penentu kehidupan negara di masa mendatang. Kelak merekalah yang akan memimpin jalannya roda pemerintahan yang ada di negeri ini. <>
Dari ketiga argumentasi di atas itulah membuat saya lebih cenderung menitikberatkan pembahasan pada ranah perguruan tinggi sebagai sebuah upaya untuk mengatasi dilematika pendidikan di Indonesia. Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani ke arah kedewasaan (M. Ngalim, 1997: 10).
Dalam kaitannya dengan definisi pendidikan, menurut George F. Kneller, pendidikan memiliki dua arti, yakni arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pendidikan diartikan sebagai tindakan atau pengalaman yang mempengaruhi perkembangan jiwa, watak, ataupun kemauan fisik individu. Dalam arti sempit, pendidikan adalah suatu proses mentransformasikan pengetahuan, nilai-nilai, dan ketrampilan dari generasi ke generasi, yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan tinggi, atau lembaga-lembaga lain (Wiji, 2006: 20).
Pendidikan di perguruan tinggi – sebagaimana pendidikan di strata bawahnya – mayoritas hanya bertumpu pada pengembangan keilmuan akademis semata. Di tempat ini intelektual seseorang digodog sedemikian rupa agar bisa berkompetisi di era sekarang. Pemikiran seseorang diramu menjadi lebih kritis atas apa yang terjadi, sehingga bisa mengembangkan nalar yang dimiliki. Hal ini menjadi persoalan yang urgen mengingat tuntutan zaman yang semakin menjadi-jadi. Masyarakat membutuhkan sosok yang mampu menganalisis dan mengidentifikasi suatu problem sekaligus menciptakan solusi yang tepat.
Baik perguruan tinggi umum maupun agama sama-sama bertujuan sebagaimana disebutkan di atas. Perguruan tinggi umum menawarkan berbagai bidang studi yang mutlak memerlukan pengembangan di masa kini. Perguruan tinggi agama juga demikian, mereka tidak terlalu bernostalgia dengan turas (baca: produk pemikiran ulama terdahulu). Sehingga banyak sudah pemikiran ulama kontemporer yang ‘baru’ dikaji di sini, semisal Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Fazlurrahman, dan lain sebagainya.
Namun, tujuan mulia itu agaknya meniscayakan hal yang urgen lainnya, yakni aspek moralitas dalam diri masing-masing mahasiswa. Sebagai generasi penerus perjuangan bangsa, mahasiswa kerap kali – tanpa berbicara keseluruhan -- bertindak anarkis dalam beberapa demonstrasi yang dilakukannya, berpakaian compang-camping, serta segenap aktifitas negatif lainnya. Tak hanya itu, yang mencengangkan adalah salah satu mahasiswi kampus Islam terkemuka di Yogyakarta pada tahun 2009 tewas setelah diperkosa dan dirampok oleh pacarnya sendiri. Menyedihkan memang, kampus Islam yang digadang-gadang sebagai tombak utama peradaban agama malah ikut-ikutan terkotori oleh kasus kriminal.
Banyaknya aksi kekerasan yang terjadi dalam aksi demonstrasi juga turut memberikan kesan negatif pada diri mahasiswa. Aksi turun ke jalan yang sebenarnya berniatan baik, yaitu untuk menyampaikan aspirasi masyarakat kerap kali malah menyakitkan hati masyarakat sendiri. Karena seringnya membakar ban di jalanan, sehingga menganggu lalu lintas; bentrok dengan anggota polisi, dan lain sebagainya. Paradoks memang, di kala masyarakat ingin agar mereka ingin suasana aman dan nyaman, tetapi malah dibuat susah, bahkan acap kali mencekam.
Kenyataan pahit di atas menjadi tamparan besar bagi pendidikan di negeri ini. Dimana anggaran 20 % dialokasikan untuk peningkatan kualitas pendidikan, akan tetapi ternyata dalam taraf moralitas ternyata kita masih sangat jauh dari harapan. Hal ini tentunya menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak. Harus ada langkah konkret dalam menyelesaikan dilematika pendidikan ini.
Pendidikan yang ada seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai media transfer ilmu pengetahuan, tetapi harus lebih dari itu, yaitu memberikan transfer nilai. Utamanya lagi perguruan tinggi sebagai level tertinggi pendidikan kita. Dari hal tersebut diharapkan akan muncul manusia yang mempunyai sikap kritis serta bermoral mulia.
Pesantren vis avis Kampus
Pondok pesantren merupakan sistem pendidikan Islam tertua di Indonesia. Eksistensinya sudah ada sekitar lima ratus tahun silam. Berbagai macam tingkatan masyarakat berbaur menjadi satu di dalamnya. Dari mulai kaum jelata sampai priyayi menimba ilmu di sana. Mereka berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain. Tidak ada rasa egoisme maupun dikotomisasi yang diakibatkan perbedaan derajat masing-masing individu.
Sistem edukasi di pondok pesantren berorientasi pada pemahaman kitab kuning (klasik), sekaligus mencetak kader-kader ulama masa depan. Dari hal tersebut, diharapkan muncul pemimpin-pemimpin masyarakat yang berkapabilitas untuk membina dan mengarahkan umat ke arah kebaikan. Di samping itu, membangun sisi rohani (tasawuf) juga menempati porsi utama dalam pengajaran pondok pesantren.
Menurut M. Masyhur Amien pendidikan yang ada di pesantren mencakup tiga hal. Pertama, menanamkan akidah yang kuat di setiap hati seseorang. Kedua, tujuan hukum yaitu pengarahan untuk menuju kepatuhan setiap orang pada hukum yang telah disyariatkan oleh Allah swt. Ketiga, menanamkan nilai-nilai akhlak kepada masyarakat (Amien, 1980: 61). Dari sini, tidak diragukan lagi bahwa pesantren merupakan sarana pembentuk manusia yang berintegritas tinggi dan berbudi luhur.
Kiai dan santri merupakan dua komponen dari beberapa unsur pondok pesantren. Sang kiai mentransformasikan ilmu yang dimilikinya kepada santri. Sementara santri mengambil ilmu dari kiainya tersebut. Ketaatan pada kiai merupakan unsur paling fundamental yang ada di benak masing-masing santri. Dari kepatuhan itulah sebenarnya diharapkan muncul “barakah” yang akan didapatkan setelah keluar danmenjadi alumni.
Di sisi lain, kiai menganggap santri sebagai murid sekaligus anak yang akan menjadi perantara memperoleh ridha Allah. Kiai menerima santri sebagai amanah dalam memahami agama (tafaqquh fi al-din) dan dididik akhlak mulia. Karena itu, kiai selalu berupaya mendidik santri semaksimal mungkin. Konsekwensinya, kiai senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keilmuan dan spiritualitasnya.
Namun pendidikan pesantren bukan tanpa kelemahan. Banyak kekurangan-kekurangan yang mutlak harus ditutupi oleh metode pendidikan yang lain. Abdurahhman Mas’ud menyebutkan bahwa beberapa kelemahan model pendidikan pesantren juga sering dikritik oleh sebagian cendekiawan sebagai pendidikan tradisional yang, jumud, dan dalam batas tertentu irasional. Namun harus diakui bahwa model pendidikan pesantren sudah terbukti keberhasilannya dalam mencetak santri yang berpengetahuan dan berakhlak mulia (Sya’rani: 2007, vii). Akan tetapi yang perlu digarisbawahi di sini bahwa pesantren tetaplah sebuah institusi pendidikan yang bergerak di bidang pembentukan sisi moralitas manusia.
Fenomena berlainan didapatkan dalam dunia perguruan tinggi. Dalam sistem pendidikan yang diterapkan kampus tidak ada perintah untuk sami’nā wa atho’nā (baca: taat sepenuhnya) pada dosen, sebagaimana yang lazim terjadi di pesantren oleh santri terhadap kiai. Dalam dunia perkuliahan, kebebasan berpikir merupakan hak yang dimiliki seorang mahasiswa. Tak ada hegemoni pemikiran yang dimiliki seorang mahasiswa.
Ide-ide baru seorang mahasiswa tidak bisa dikekang. Apa yang dipikirkanya bisa berbeda dengan pemikiran dosen pendidiknya. Hal ini merupakan suatu yang lumrah terjadi dalam dunia akademik kampus. Dengan banyak bermunculannya pikiran-pikiran baru diharapkan ilmu pengetahuan akan semakin berkembang dan bergerak progresif, sesuai dengan laju zaman.
Sintesa sebagai Solusi
Pada dasarnya dua hal yang berlawanan bukannya tidak dapat disatukan. Adanya perbedaan adalah untuk saling melengkapi, memperkokoh, dan mengkritik masing-masing. Dari pemahaman seperti ini diharapkan muncul sintesis (hasil pertemuan) atas dua hal yang kontradiktif tersebut. Sebuah sintesis yang tentunya akomodatif dalam era modern ini.
Dunia kampus dan pesantren, meskipun bertolak belakang, namun sebenarnya bisa dikombinasikan. Dengan berbekal pendidikan kampus yang menekankan kebebasan berpikir, berkehendak, dan berekspresi, manusia sanggup memberikan inovasi-inovasi bagi era yang selalu bergerak progresif. Akan tetapi kekurangannya adalah sisi moralitas yang cenderung terabaikan. Oleh karena itu, adanya pesantren adalah untuk mem-_back up_ sisi-sisi kelemahan yang dimiliki kampus tersebut. Dalam arti lain, kelemahan kampus diisi oleh pesantren dan kelemahan pesantren diisi oleh kampus.
Dari kombinasi keduanya diharapkan muncul seorang insan yang mampu berpikiran cerdas dalam menghadapi tantangan zaman, kritis pada sesuatu dan juga mempunyai perilaku yang baik. Itulah sebenarnya manusia yang dibutuhkan pada zaman sekarang ini. Di satu sisi dia adalah seorang intelektual dan berkapabilitas dalam bidangnya, tetapi disisi lain dia merupakan insan yang selalu mengedepankan aspek moralitas yang ada. Manusia seperti itu niscaya menjadi sosok yang dibutuhkan masyarakat pada zaman sekarang ini.
Dalam paradigma kecerdasan manusia, terdapat trilogi kecerdasan, yakni kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). [1] [1] IQ terkait dengan kecerdasan alamiah yang dimiliki manusia. Sementara EQ merupakan emosi dari diri seseorang untuk melakukan sesuatu. SQ adalah sisi spiritual yang ada pada diri manusia. Ketiganya harus dikolaborasikan menjadi sebuah kecerdasan yang mampu dimiliki manusia, sehingga kesuksesan akan mudah diraih.
Pada awalnya memang kesuksesan manusia hanya diukur berdasarkan tingkat IQ semata. Semakin tinggi nilai IQ seseorang, maka dipandang akan semakin mudah untuk meraih kesuksesan dalam hidup. Namun, pada tahapan selanjutnya, muncullah kecerdasan-kecerdasan lainnya sebagai penyempurna, yaitu EQ dan SQ. Dengan ditemukannya dua kecerdasan terakhir, maka ketiganya menjadi kebutuhan yang harus dikembangkan pada diri manusia. Orang yang hanya mengandalkan IQ saja, maka ia akan cenderung menjadi orang yang sombong, suka menghina orang lain, serta miskin akan sisi religiusitasnya.
Cara untuk memperoleh ketiganya adalah dengan memadukan pendidikan pondok pesantren dan kampus. Pondok pesantren adalah tempat mengasah Emotional Quotient dan Spiritual Quotient. Sementara di kampus, Intellectual Quotient dijadikan sebagai objek primer pengembangan. Dari keduanya-lah niscaya akan diperoleh manusia yang berkompeten dan bisa berinteraksi secara vertikal (kepada Tuhan) maupun horizontal (kepada sesama manusia). Dalam artian, akan didapatkan seorang muslim multitalenta yang bisa menghadapi laju globalisasi sekaligus dapat memimpin umat ke arah kebaikan.
* Penulis merupakan Mahasiswa Tafsir Hadist UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktivis NU kultural
© 2015 NU Online. All rights reserved. Nahdlatul Ulama