Surur, Misbahus (2020) Kronik pedalaman: perdikan, Islam, dan akhir Majapahit. Interlude dan Buku Langgar, Yogyakarta. ISBN 978-623-7676-62-1 UNSPECIFIED : UNSPECIFIED.
|
Text
13176.pdf - Published Version Download (1MB) | Preview |
Abstract
Buku Kronik Pedalaman adalah kumpulan esai yang berisi berbagai kajian tentang desa berdasarkan tinjauan sejarah, budaya dan kultur kearifan lokal. Ada beberapa kajian mengenai bentuk desa kuno berdasarkan data-data (transkrip) prasasti. Ungkapan Jawa mengatakan “Desa mawacara kutha mawa tata”. Adagium tersebut menunjukkan hubungan yang kolaboratif antara teritori desa dan kota. Desa dianggap sebagai sumber inspirasi atau sumber inisiatif (mawa cara), sementara kota adalah lokasi pelaksanaan inisiatif (mawa tata).
Mawacara-nya desa itu, diterjemahkan oleh penulis berupa kultur dan keilmuan lokal (local knowledge/local genius) yang dihidupi, dilestarikan dan terus dijaga oleh masyarakat desa secara turun-temurun, salah satunya dengan metode gethok-tular. Mawa cara desa itu, kata penulis, bisa dibabar menggunakan teknik jajah desa milang kori (menjelajahi desa untuk mengumpulkan kearifan/pengetahuan lokal). Karena itu, sebagian isi buku ini juga berupa tulisan-tulisan yang dihasilkan penulis dari proses jajah desa alias turba ke desa-desa.
Buku ini banyak membuka tabir kajian desa lewat prasasti (ilmu epigrafi): misalnya bagaimana bentuk desa zaman kuno, bagaimana sistem pemerintahan kala itu diselenggarakan, bagaimana komposisi penduduknya juga bagaimana siklus ekonominya. Konsep administratif kuno serupa desa itu zaman dulu, di antaranya berupa, konsep desa wanua dan sima. Lalu berkembang menjadi konsep desa perdikan ketika datang periode Islam.
Secara planologis, permukiman desa-desa zaman kuno berbentuk mandala (atau dalam prasasti disebut permukiman pancawara). Sebuah rancangan kewilayahan berdasarkan konfigurasi bentuk-bentuk konsentris, yang di kemudian hari dijadikan rancangan kota-kota besar di Jawa, sejak periode Islam hingga di masa kini. Lantas local knowledge teritori permukiman tersebut barangkali juga bisa diaplikasikan untuk merancang struktur permukiman dan tata kota berkelanjutan di masa depan.
Buku ini juga membahas bagaimana hubungan desa perdikan dengan kemunculan serta pertumbuhan pesantren-pesantren di Jawa di masa awal (periode formatif). Sebab, sejak masih embrio, pesantren-pesantren di Jawa rata-rata berkembang pesat melalui keberadaan desa-desa perdikan. Terutama pesantren-pesantren tua seperti Pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari, Ponorogo, dst. Pada mulanya desa perdikan pada periode Islam adalah desa yang dibebaskan dari pajak karena di dalamnya terdapat masjid peninggalan Islam awal (masjid tua), juga situs-situs makam orang suci (kiai atau wali-wali desa) penyebar Islam pertama. Meski secara administratif, bentuk desa perdikan masa Islam tersebut adalah pola yang diadaptasi dari model desa-desa periode Hindu-Budha.
Kultur pesantren yang hidup di pedalaman itu dekat dengan kultur kehidupan agraris: karena pondok pesantren mengajarkan bertanam, mendirikan komunitas permukiman. Mempraktikkan tarekat/sufism, dan tentu saja mendirikan lembaga pendidikan (pesantren) dan masjid. Desa sima sebagai pendahulu desa perdikan masa Islam, mula-mula diberikan kepada wilayah tertentu karena berbagai faktor, di antaranya karena masyarakat daerah tertentu ikut membantu raja menganeksasi suatu wilayah dan mengalahkan musuh raja, lalu disusul karena faktor di sebuah lokasi desa terdapat lokasi situs-situs suci semacam candi atau makam-makam keluarga raja.
Di masa Islam, bentuk teritori desa perdikan kian banyak. Salah satu yang masih terbawa hingga sekarang adalah daerah pekaumun (atau kauman). Sebuah teritori kampung, yang terletak di barat masjid agung. Karena zaman dulu warga kauman, yang tinggal di sekitar masjid, diberi tugas sebagai semacam juru kunci masjid (dipasrahi tanggung jawab memelihara masjid).
Buku ini juga mengulik mengenai kisah desa dan babad desa. Mengulik sejarah desa melalui kajian naskah-naskah babad serta fenomena danyang. Fenomena danyang sebagian disinyalir berhubungan dengan sosok-sosok pembabat desa/pendiri desa pertama. Danyang itu biasanya—meski tidak secara keseluruhan—bersemayam di punden-punden. Kata penulis, babad adalah kronik lokal (kisah pembukaan wilayah permukiman sejak periode awal hingga periode-periode selanjutnya). Babad desa di wilayah pedalaman bisa diidentifikasi melalui upacara sedekah bumi, bersih desa dst. Sementara babad desa pesisir, bisa ditelusuri lewat upacara larungan/sedekah laut.
Item Type: | Book |
---|---|
Keywords: | desa; perdikan; Islam; pesantren; permukiman |
Subjects: | 21 HISTORY AND ARCHAEOLOGY > 2101 Archaeology > 210108 Historical Archaeology (incl. Industrial Archaeology) |
Divisions: | Faculty of Humanities > Department of Arabic Language and Letters |
Depositing User: | Misbahus Surur |
Date Deposited: | 12 Apr 2023 09:15 |
Downloads
Downloads per month over past year
Origin of downloads
Actions (login required)
View Item |