Rahmah, Zainabur ORCID: https://orcid.org/0000-0003-0232-6891 and Nashichuddin, Ach. ORCID: https://orcid.org/0009-0006-8273-8878 (2024) Malaria Serebral dan Malaria Plasenta: Tinjauan sains dan Islam. UIN Press, Malang. ISBN 978-623-32329454 Author, Author : Rahmah, Zainabur and Nashichuddin, Ach.
Text
20754.pdf Restricted to Repository staff only Download (792kB) |
Abstract
Malaria di Indonesia dianggap sebagai ancaman terhadap status kesehatan masyarakat, terutama di daerah terpencil. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2015 pada RPJMN, yang menyatakan bahwa malaria adalah penyakit prioritas yang perlu ditangani (Kemenkes, 2017). Namun, terdapat komplikasi yang perlu segera diatasi, yakni komplikasi neurologis paling berat pada malaria yang disebut malaria serebral (Idro et al., 2010). WHO (2012), mendefinisikan malaria serebral sebagai sindrom klinis berat yang dapat menyebabkan disfungsi pada organ vital, dengan penyebab terseringnya adalah Plasmodium falciparum. Malaria serebral memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi, yang dapat menyebabkan cedera otak pada beberapa pasien sebagai manifestasi jangka panjang berupa kerusakan neurokognitif (Idro et al., 2010; Lochhead et al., 2010).
Manifestasi utama malaria serebral adalah gangguan neurologis, penurunan kesadaran ringan hingga berat, koma, kejang, hipoglikemia, temuan bentuk aseksual Plasmodium falciparum pada apusan darah, dan disertai gejala umum malaria (Idro et al., 2010). Menurut Mawuntu (2018), gangguan penurunan kesadaran pada malaria serebral disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan otak akibat hipoksia yang disebabkan oleh sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi Plasmodium falciparum. Proses sekuestrasi ini diperantarai oleh sitoaderensi, di mana ligan permukaan sel darah merah terinfeksi (pRBC), yaitu Plasmodium falciparum Erythrocyte Membrane Protein-1 (PfEMP-1), menempel pada reseptor endotel otak seperti CD36, ICAM-1, dan VCAM- 1 (Jameson et al., 2018; Mawuntu, 2018). Selain itu, patofisiologi hipoksia mampu menginduksi hypoxia-inducible factor (HIF-1 dan HIF-2 ), yang berfungsi sebagai respons alami tubuh dalam mencegah kematian sel (Kumar et al., 2017).
Karena gejala klinis malaria serebral, diperlukan calon obat antimalaria dengan mekanisme kerja yang bertujuan mencegah hipoksia untuk mencegah gejala neurologis yang parah dan mengurangi angka kematian. Malau dan Azzahra (2018) menyatakan bahwa diperlukan obat antimalaria yang aman, efektif, praktis, dan ekonomis untuk menurunkan angka kematian akibat penyakit malaria. Mekanisme infeksi malaria menjadi dasar pengembangan banyak obat antimalaria, termasuk
penghambatan bentuk parasit aseksual dalam sel darah merah manusia (Pamudi, 2011). Obat antimalaria dengan mekanisme ini antara lain kina, klorokuin, pirimetamin, sulfonamid, sulfon, dan turunan artemisinin (Malau & Azzahra, 2018). Namun tantangan lain dalam pemberantasan malaria adalah menurunnya efikasi dan resistensi obat, khususnya terhadap klorokuin (Kementerian Kesehatan, 2017). Hal ini disebabkan oleh parasit malaria yang tidak memiliki tempat aktif untuk mengikat klorokuin sehingga tidak mampu mengkonsentrasikan obat ke dalam sel darah merah (Pribadi, W. & Muljono, R., 2004).
Item Type: | Book |
---|---|
Keywords: | Malaria Serebral; Malaria Plasenta |
Subjects: | 11 MEDICAL AND HEALTH SCIENCES > 1118 Diseases > 111803 Parasitic Diseases > 11180311 Parasitic Diseases, Animal |
Divisions: | Faculty of Medical and Health Sciences > Department of Medical Education |
Depositing User: | Dr Zainabur Rahmah |
Date Deposited: | 24 Oct 2024 12:58 |
Downloads
Downloads per month over past year
Origin of downloads
Actions (login required)
View Item |