Zainuddin, M ORCID: https://orcid.org/0000-0002-3602-6152 (2002) Syeikh Abdul Qadir al-Jailani tokoh sufi kharismatik dalam persaudaraan tarekat. Research Report. Universitas Islam Indonesia Sudan, Malang. (Unpublished)
Text (Full text)
Jailani.pdf - Submitted Version Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial Share Alike. Download (289kB) |
Abstract
Al-Jailani adalah seorang tokoh besar spiritual yang lahir pada pertengahan masa daulah Abasiyah IV atau Bani Saljuk yang tengah terjadi gejolak pergolakan (baik dalam maupun luar) dan persaingan ideologis yang hebat, yang mengakibatkan dehumanisasi, despiritualisasi dan destrukturalisasi.Tetapi iapun terbentuk dalam lingkungan yang penuh dengan kemajuan, baik kemajuan ilmu pengetahuan, kebangkitan intelektual maupun kemasyarakatan.
Al-Jailani sebagai seorang mujahid muslim mempunyai pengikut dan pengaruh besar jumlahnya, baik dari kalangan Kristen, Yahudi maupun kalangan penjahat. Pengaruhnya yang besar adalah karena kedalaman ilmunya, baik ilmu eksoteris terutama ilmu esoterisnya, serta sejumlah kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Hingga kini namanya tak berhenti disebut-disebut oleh banyak orang.
Pemikiran al-Jailani banyak diwarnai oleh pemikiran tasawwuf yang tidak lepas dari Qur’an dan Hadits, dan berorientasi pada alur teologis. Peringkat kesufiannya dimulai dari kemashurannya sebagai seorang ahli hukum (fiqih) yang bermazhab Ahlussunnah. Oleh karena itu ia menolak pandangan Jabariyah dan Qadariyah dalam masalah upaya kemanusiaan.
Yang utama yang mendasari ajarannya adalah larangan untuk tidak tenggelam dalamkeduniaan dan penekanan pada sedekah dan kemanusiaan. Tetapi iapun melarang sikap rahbaniah. Karena ia memandang kehidupan dunia sebagai proses kontinuitas kehidupan akhirat (balance). Bahkan dalam konsep tujuan akhir, yakni bila
seseorang ingin bertatap muka dengan-Nya, maka dunia dan akhirat harus dilepaskan sama sekali.
Konsepsi tasawwuf al-Jailani adalah konsepsi tasawwuf yang dilandasi syari’at Ilahi. Baginya dunia sufi bisa ditempuh melalui abstinensi dan dalam batas-batas tertentu, yaitu bila seseorang telah cukup Syari’atnya. Sebagaimana al-Ghazali, iapun memandang keliru faham al-Halaj tentang konsep wahdat al-wujud.
Saran-Saran:
1. Hendaknya figur seperti al-Jailani ini bisa diteladani perilaku serta ajaran-ajarannya, bukan dikultuskan dan hanya disanjung-sanjung secara berlebihan.
2. Hendaknya tradisi manakiban (pembacaan biografi) al-Jailani bisa dilaksanakan sewajarnya , tanpa adanya keterikatan dengan cara-cara (tradisi) tertentu yang menimbulkan kemudharatan. Mmisalnya, dalam upacara tersebut harus disertai nasi kabuli dan ayam putih, bagi pemasaknya harus suci dari hadats (kecil/besar), alat-alat masaknyapun harus baru, dan cara lain yang tidak terpuji.
3. Hendaknya tidak menyambungkan kalimat “Syeikh Abdul Qadir Jailani Walilyullah”, dalam kalimat tauhid “Lailaha illallah Muhammadarrasulullah”.
4. Hendaknya mempelajari biografi tokoh sesuai dengan anjuran Allah SWT: ”Sungguh dalam kisah mereka terdapat suri tauladan (‘ibrah) bagi orang yang
berakal ”.
Item Type: | Research (Research Report) |
---|---|
Subjects: | 22 PHILOSOPHY AND RELIGIOUS STUDIES > 2204 Religion and Religious Studies > 220403 Islamic Studies |
Divisions: | Faculty of Tarbiyah and Teaching Training > Department of Islamic Education |
Depositing User: | Faizuddin Harliansyah |
Date Deposited: | 04 May 2016 13:53 |
Downloads
Downloads per month over past year
Origin of downloads
Actions (login required)
View Item |