Abdul Basid, dkk (2025) Cyber feminisme dan multilingualisme: Transformasi bahasa dan identitas gender di media sosial (sertifikat hak cipta). EC002025181497.
|
Text
HKI Penelitian Pak Basid 2025 (1).pdf Restricted to Repository staff only Download (3MB) | Request a copy |
Abstract
Cyber feminisme melalui platform media sosial memberikan ruang strategis bagi perempuan untuk menantang norma patriarkal dan membentuk narasi yang lebih inklusif. Gerakan seperti #MeToo dan #TimesUp menunjukkan bagaimana aktivisme digital dapat memperluas suara perempuan secara global. Dalam konteks tersebut, multilingualisme memainkan peran penting karena memungkinkan diskursus feminis berkembang lintas budaya, menjadikannya lebih representatif dan relevan bagi perempuan dari berbagai latar sosial. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menjelaskan bagaimana cyber feminisme mentransformasi bahasa sebagai antitesis terhadap wacana patriarki; (2) mengungkap bagaimana perempuan dari latar budaya berbeda menggunakan bahasa untuk membentuk identitas gender yang lebih kompleks dan inklusif; (3) memahami terbentuknya solidaritas transnasional dalam gerakan feminis digital melalui praktik multibahasa; dan (4) menganalisis bagaimana ruang digital berfungsi sebagai arena dialektika antara pembebasan dan kontrol terhadap ekspresi identitas gender dalam praktik cyber feminisme multibahasa. Pendekatan penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode netnografi, melalui observasi pasif terhadap interaksi online pada platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok, serta wawancara semi-terstruktur dengan pakar feminis multibahasa. Analisis tematik digunakan untuk mengidentifikasi pola bahasa, representasi identitas, dan bentuk solidaritas dalam gerakan feminisme digital multikultural. Temuan menunjukkan bahwa: (1) cyber feminisme mentransformasi bahasa digital menjadi alat perlawanan terhadap patriarki melalui produksi istilah baru, humor kritis, dan counter-discourse yang memperkuat suara Perempuan; (2) Praktik multibahasa—meliputi bahasa lokal, Indonesia, Inggris, dan campur kode—mendukung pembentukan identitas gender yang cair dan inklusif, sekaligus memungkinkan negosiasi kreatif terhadap norma budaya; (3) multibahasa juga berperan sebagai penghubung solidaritas transnasional melalui translanguaging, meskipun masih menghadapi hierarki bahasa; dan (4) ruang digital pada akhirnya menjadi arena dialektika antara pembebasan dan kontrol, saat perempuan menavigasi sensor algoritmik, moral policing, dan tekanan sosial melalui strategi linguistik dan persona digital. Penelitian ini menegaskan bahwa bahasa merupakan arena politik penting dalam pembentukan identitas gender dan resistensi feminis, sehingga teori feminisme digital perlu mengintegrasikan perspektif sosiolinguistik. Secara praktis, temuan ini relevan untuk memperkuat strategi advokasi feminis multibudaya dan mendorong kebijakan digital yang lebih berkeadilan gender.
| Item Type: | Hak Cipta |
|---|---|
| Keywords: | cyberfeminisme; multilingualisme; media sosial; transformasi bahasa; identitas gender |
| Subjects: | 19 STUDIES IN CREATIVE ARTS AND WRITING > 1902 Film, Television and Digital Media > 190205 Interactive Media 20 LANGUAGE, COMMUNICATION AND CULTURE > 2001 Communication and Media Studies > 200102 Communication Technology and Digital Media Studies 20 LANGUAGE, COMMUNICATION AND CULTURE > 2001 Communication and Media Studies > 200104 Media Studies 20 LANGUAGE, COMMUNICATION AND CULTURE > 2004 Linguistics > 200405 Language in Culture and Society (Sociolinguistics) > 20040501 Language Change |
| Divisions: | Faculty of Humanities > Department of Arabic Language and Letters |
| Depositing User: | Abdul Basid |
| Date Deposited: | 04 Dec 2025 09:30 |
Downloads
Downloads per month over past year
Origin of downloads
Actions (login required)
![]() |
View Item |

Altmetric
Altmetric