NU dan pendidikan pesantren di era society 5.0

Hidayatullah, Achmad Diny ORCID: https://orcid.org/0000-0002-1370-6569 (2021) NU dan pendidikan pesantren di era society 5.0. In: Kado Muktamar ke-34 NU dan Masa Depan Umat. UIN Maliki Press, Malang, pp. 56-61. ISBN 9786232328051 UNSPECIFIED : UNSPECIFIED.

[img] Text
10670.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (1MB)

Abstract

Perhelatan besar pada 22-24 Desember 2021 di Bandar Lampung. Muktamar kali ini tentu memiliki tantangan yang lebih besar dibanding jam’iyyah NU (Muktamar) ke-34 digelar muktamar-muktamar sebelumnya, karena dari sini akan menentukan perjalanan organisasi massa Islam terbesar di Indonesia ke depan. Jika start muktamar nanti tidak visioner, maka akan membawa NU ke depan bernasib tidak menjanjikan.
Paling tidak ada dua hal penting yang harus dipersiapkan secara matang dan visioner terkait dengan muktamar kali ini. Pertama, adalah soal profil ketua umum (rais‘am) dan yang kedua, adalah soal program besar ke depan. Siapa profil pemimpin NU pasca Said Aqil Siraj? Dan siapa tokoh NU yang mampu menjadi penggerak perubahan besar pasca Gus Dur?
Perjalanan NU kemaren hendaknya menjadi pertimbangan sebagai bahan evaluasi dan menuju program ke depan yang lebih baik dan visioner. Sebab yang terjadi selama ini NU sudah jauh dari khittah-nya. Kecenderungan berpolitik bagi warga Nahdhiyyin sudah begitu kental dan membudaya. Maka sebelum meninggal, Gus Dur pernah mengingatkan kepada warga NU, terutama para Kiainya, untuk tidak berebut menduduki jabatan di pemerintahan. Peringatan tersebut disampaikan oleh Gus Dur setelah marak dari kalangan Kiai NU yang berebut mendaftarkan diri sebagai calon Bupati di beberapa daerah, dan ini terjadi hingga saat ini.
Warga NU yang tidak terlibat pada partai politik lebih baik mengkonsentrasikan diri sebagai kelompok pengkaji ilmu (tafqquh fi al-din), misalnya para kiai di pesantren, dengan tetap mendidik para santrinya menjadi manusia saleh, dan mengkonsetrasikan diri pada peningkatan sumber daya manusia, tidak perlu kiai berjibaku berebut menjadi kepala daerah kalau memang bukan tempatnya. Bukankah Nabi juga pernah menyampaikan, jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka akan hancur? (Iza wussida’l-amru ila ghairi ahlihi fantazir al-sa’ah).
Amar ma’ruf nahi munkar sebetulnya tugas yang paling utama seorang kiai dalam transformasi sosial. Di dalamnya menyangkut persoalan penegakan keadilan, hak-hak asasi manusia dan demokratisasi, serta perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan dan segala bentuk tirani dan kezaliman. Di sinilah kiai seharusnya berperan. Jika konsep ini dipahami, saya kira tidak ada lagi seorang kiai yang menjadi tangan panjang penguasa yang korup, yang disebut al-Ghazali sebagai ulama su’ (ulama’ yang buruk).
Komitmen kiai terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan harus tetap di jaga sebagai bentuk dari sikap ketundukan terhadap Tuhan. Dengan demikian berpolitik adalah menegakkan nilai-nilai moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai inilah yang harus tegak dalam setiap masyarakat sehingga jauh dari praktik-praktik yang korup. Saya kira Gus Dur sangat benar ketika menegaskan bahwa Islam akan menjadi besar jika mengutamakan politik sebagai moralitas, bukan politik sebagai institusi dan kepentingan pribadi. Di sinilah dibutuhkan pemimpin yang dapat meneruskan perjuangan Gus Dur.
Sudah saatnya kini organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama mengaksentuasikan diri pada persoalan-persoalan peningkatan umat, baik secara konseptual maupun sosial. Memang sekarang warga NU yang dibentuk dari pendidikan modern sudah semakin bertambah. Banyak santri setelah menamatkan pendidikan di pesantren melanjutkan program doktor baik di Barat maupun Timur Tengah. Inilah aset yang mesti dipelihara dan dimanfaatkan secara optimal. Fenomena munculnya generasi baru intelektual NU sekarang sudah terlihat di kelas-kelas menengah kota. Lahirnya generasi pemikir muda yang bergabung dalam forum-forum kajian dan asosiasi-asosiasi di berbagai wilayah telah menandakan dimulainya era kebangkitan baru intelektual muda NU. Saya kira ini yang harus menjadi perhatian elit NU sekarang. Karena secara historis kelahiran NU juga diawali dengan organisasi-organisasi yang ada sebelumnya, seperti Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathan, dan Tashwirul Afkar.
Buku ini merupakan kontribusi akademis dan gagasan-gagsaan penting yang ditulis oleh para akademisi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan pakar lain dalam melihat perjalanan NU yang berusia hampir se abad ini dalam berbagai perspektif, sebagai tradisi bagian tradisi yang berkembang di dunia akademik-kampus. Semoga ide dan refleksi pemikiran tersebut bermanfaat dan berkontribusi dalam memberikan input NU ke depan. Dan selamat bermuktamar semoga sukses.

Item Type: Book Section
Keywords: muktamar; NU; Nahdlatul Ulama; satu abad; Gus Dur; Gus Yahya; KH. Said Aqil Siradj; UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Subjects: 20 LANGUAGE, COMMUNICATION AND CULTURE > 2005 Literary Studies > 200527 Arabic Literature (al-Adab al-‘Arabī)
13 EDUCATION > 1302 Curriculum and Pedagogy
16 STUDIES IN HUMAN SOCIETY > 1608 Sociology
20 LANGUAGE, COMMUNICATION AND CULTURE > 2004 Linguistics
Divisions: Faculty of Humanities > Department of Arabic Language and Letters
Depositing User: Achmad Diny Hidayatullah
Date Deposited: 23 May 2022 10:54

Downloads

Downloads per month over past year

Origin of downloads

Actions (login required)

View Item View Item